Ketika Hakim Memutus dengan Kacamata Kuda

Buletin Indonesia News

Jakarta,– Kuasa hukum Ir. Wahyudin Akbar, Erman Umar, SH menyayangkan putusan Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta terhadap kliennya. Vonis lima tahun penjara menurut Erman merupakan putusan yang tidak objektif  yang memutuskan perkara dengan memakai kacamata kuda.

‘Majelis Hakim pimpinan Emilia Subagia memakai kacamata kuda dalam memutus perkara klien kami, sebuah putusan yang sama sekali tidak berdasarkan fakta persidangan. Jika begini, dimana itu keadilan,?,” kata Erman Umar kepada wartawan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis, (2/11/2017).

Atas putusan itu, kliennya menyatakan banding karena menilai putusan majelis hakim sangat tersesat. “Seharusnya putusan berdasarkan fakta persidangan, bukan berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dan tuntutan jaksa yang terlihat berambisi sekali menghukum klien kami. Demi memperoleh keadilan, kami menyatakan banding atas putusan ini,” tandas Erman Umar.

Menurut Erman, banyak fakta persidangan yang diabaikan majelis hakim. Diantaranya, ada beberapa saksi yang mengatakan bahwa mereka menerima uang dari kliennya. Kemudian uang itu dikembalikan oleh petani atau relawan kepada kliennya.

“Sebab pada waktu penanaman pohon dana petani dan relawan belum ada. Itu tidak dipertimbangkan majelis. Pertimbangan putusannya hanya diambil dari BAP atau sesuai pola jaksa,’ kata Vice President KAI ini.

“Ada lima orang seksi yang mengatakan bahwa uang itu dikembalikan karena mereka memang pernah pinjam ke kepada klien kami. Karena awal proyek menanam seratus juta pohon, petani dan relawan tidak punya uang,” sambung Erman Umar.

Seharusnya, kata dia, majelis hakim dapat menilai jika Wahyudin menerima uang tersebut dalam konteks pengembalian uang.

“Kenapa JPU dan majelis hakim tidak memperhatikan bahwa itu pengembalian uang? Dan itu ada bukti buktinya ratusan kali transaksi. Tabungan klien kami pada tahun 2015 dipakai Rp 4,7 Miliar untuk pinjaman petani. Dari jumlah itu baru Rp 1,6 Miliar kembali.”ungkap dia.

“Saya sangat sependapat dan mendukung pemberantasan korupsi, bukan begini caranya. Dalam perkara klien saya ini, Pertamina diuntungkan. Dari segi pendanaan yang dikeluarkan Pertamina untuk penanaman satu pohon seharusnya Rp 12.000, dan ternyata berhasil ditekan menjadi Rp 2.500/pohon. Dari segi pencitraan juga Pertamina banyak mendapat penghargaan dari nasional hingga internasional,” papar Erman Umar.

 

Dalam perkara dugaan korupsi program CSR Pertamina Foundation untuk program menanam 100 juta pohon pada 2012-2014‎ ini, Majelis hakim pimpinan Emilia Djadja Subagia dengan anggota Frangky Tambuwun dan Jhon Halasan Butar Butar menjatuhkan vonis hukuman penjara selama lima tahun terhadap Wahyudin Akbar. Mantan Sekretaris Pertamina Foundation (Yayasan Pertamina) ini juga dikenakan denda sebesar Rp 800 juta subsidair 6 bulan kurungan dan membayar ganti rugi Rp 2 Miliar yang harus di bayar satu bulan, apabila putusan ini sudah berkekuatan hukum tetap. Bila harta terdakwa tidak mencukupi pembayaran, maka dihukum tambahan 2 tahun penjara.

Reporter : Asjen

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *